Rekayasa sosial (social engineering) adalah suatu upaya
dalam rangka transformasi sosial secara terencana (social planning). Istilah ini mempunyai makna yang luas dan
pragmatis.
Obyeknya adalah masyarakat
menuju suatu tatanan dan sistem yang lebih baik sesuai dengan apa yang
dikehendaki oleh sang perekayasa atau the
social engineer.
Upaya rekayasa ini muncul
berawal dari problem sosial, yaitu ketidakseimbangan antara das sollen dengan das sein, atau apa yang dicita-citakan masyarakat tidak sesuai
dengan yang terjadi.
Less dan Presley tokoh
sosiologi mengartikan SE adalah upaya yang mengandung unsur perencanaan, yang
diimplementasikan hingga diaktualisasikan di dalam kehidupan nyata.
Di Indonesia istilah SE ini
muncul ketika rezim orde baru berada pada posisi puncak kekuasaannya sekitar
tahun 1986.
Rekayasa sosial merupakan
perencanaan sosial yang muaranya pada transformasi sosial, didukung dengan
internalisasi nilai-nilai humanisasi yang tinggi. Namun seringkali
terpersepsikan SE suatu upaya negative (pengelabuan), hal ini dikarenakan kita
terjebak dalam satu situasi kekuasaan atau kegiatan-kegiatan praktis. Rekayasa
dilakukan oleh elit–elit politik yang mempunyai tujuan untuk kepentingan pribadi
atau golongan tertentu.
Nuansa baru tentang
pemaknaan istilah SE menuju ke dalam perubahan
positif (transformasi) yang pada akhirnya mengatasi berbagai masalah sosial
yang muncul. Suatu perubahan tidak akan muncul ketika kita masih terjebak dalam
kesalahan berpikir.
Sumber
daya manusia merupakan salah satu kekuatan inti untuk
perubahan, karena perubahan sosial terjadi secara alamiah atau bisa jadi ke
arah yang tidak diinginkan. Transformasi sosial lebih menekankan pada perubahan
menuju kualitas hidup yang lebih baik atau perubahan menuju masyarakat adil,
demokratis, dan egaliter.
Everest Hegen menguraikan
kondisi masyarakat modern dengan analisa kepribadian manusia. Ada dua
kepribadian manusia yang sangat mempengaruhi kondisi sosial, yakni otoritative
dan innovative. Implikasinya adalah jika karakter masyarakat otoriter, maka
yang terjadi adalah keterbelakangan dan muncul berbagai masalah. jika karakter
masyarakat inovatif maka yang terjadi adalah kemajuan dan keberadaban
(bermartabat). Sehingga yang perlu dilakukan adalah membangun
kepribadian-kepribadian adaptif inovatif secara bertahap melalui ideas atau
paradigma berfikir.
Manusia bukan saja terdiri
dari komponen fisik dan materi, namun terdiri juga dari spiritual dan jiwa.
Sehingga manusia tidak hanya membutuhkan materi tapi juga membutuhkan hal-hal
di luar dari materi.
Penyuluhan sebagai institusi
pendidikan bukan saja memproduksi pembelajar yang akan memiliki kemakmuran
materi, namun yang lebih penting adalah melahirkan individu-individu yang memiliki
kedirian (individualitas) yang cerdas (pintar, beretika, bermoral/berakhlak,
berestetika). Sehingga mereka semakin menjadi manusia yang bermanfaat bagi
umat/mahluk hidup dan karenanya mereka mendapatkan kebahagiaan di dunia dan
akhirat.
Institusi pendidikan perlu
mengkondisikan (to stimulate) anak
didik supaya mendisiplinkan akal dan jiwanya, memiliki akal yang tidak sekedar
pintar, melainkan juga sifat-sifat dan jiwa yang baik (cerdas), melaksanakan
perbuatan-perbuatan yang baik dan benar, memiliki pengetahuan/wawasan yang luas
yang akan menjaganya dari kesalahan-kesalahan, serta memiliki hikmah/kearifan
dan keadilan.
Pascasarjana University IPB